bismillahirrahmanirrahim
Status saya saat ini adalah seorang pendidik. Dan ini adalah sedikit tulisan idealisme saya. Setuju atau tidak, akan kembali lagi pada pribadi masing-masing.. :) Bagi sesreorang yang belum menikah, belum memiliki anak, dan mungkin saya belum mengerti apa-apa tentang kehidupan kedepanya. Tulisan ini berisi pemikiran saya saat ini.
Sebagai seorang pendidik, hal ini sangat membuat saya miris.. Kasihan, sedih, bingung, kesal, ingin berteriak rasanya..
Seorang anak menarik perhatian saya sejak hari pertama dia masuk, dia memiliki keunikan yang berbeda dari anak-anak lainnya, ketertarikannya pada kereta api, kesukaannya pada menggambar, dan hal lainnya yang sering membuat saya takjub. Yang membuat saya miris adalah kesibukan kedua orang tuanya, dengan anak yang unik menurut saya pribadi mungkkin ada baiknya jika ibunya di rumah saja, tidak usah bekerja, berikan perhatian penuh pada anaknya. Tapi sang ibu bekerja, bukan berarti mereka dari keluarga yang kekurangan sehingga sang ibu harus ikut banting tulang, mereka sangat berkecukupan, ayahnya adalah seorang CEO lembaga yang memfasilitasi pengumpulan Zakat, Infaq, Sedekah.. Bagaimana mungkin mereka kekurangan? Tinggal di sebuah perumahan cluster yang elit dan mobil yang bisa dibilang cukup mewah.
Sehari-hari dia diasuh oleh kakek neneknya yang sebetulnya bukan tinggal di Bandung. Dari sejak 4 bulan dia sudah diasuh oleh neneknya.. "Sejak dia umur 4 bulan, dia sudah sama saya, ibunya dapet beasiswa melanjutkan sekolah lagi. Ya kapan lagi bisa sekolah gratis" pernyataan sang nenek saat kami pertama kali home visit ke rumahnya membuat saya bingung dan tidak habis pikir, intinya bikin sedih,.
Yang saya pikirkan pertama kali adalah "Ya Allah, anak ini tidak mendapatkan hak dari ibunya. Bukankah anak berumur 4 bulan berhak mendapatkan ASI dari sang ibu" miris.. sedih...
Menurut saya ibunya sekolah lagi itu tidak gratis, beasiswanya tidak gratis, tapi dibayar dengan sangat mahal kerena mengorbankan anaknya.. Allah, bukankah anak adalah titipan Mu?
Saya dua kali home visit ke rumahnya, piagam prestasi sang ayah terpajang di lemari ruang tamu. Cukup membuat "waw..". Dan hari ini saya coba search nama sang ayah di google.. Bukan orang yang sembarangan. Sebuah foto membuat saya miris, beliau dikelilingi oleh beberapa orang anak tapi tidak ada anaknya, foto yang ceria.. "sekolah sebagai awal kebangkitan bangsa". Kalau begitu sekolah anaknya pun pasti akaan menjadi awal kebangkitan bagi anaknya di masa depan. Seberapa peduli sang ayah dengan potensi anaknya? Beliau peduli pada bangsa, tapi seberapa peduli pada anaknya? Beberapa tulisan sang ayah pada blognya menunjukan bahwa sang ayah adalah seseorang yang berilmu dan paham agama.
Bekerja, menafkahi anak, menyekolahkan anak, apakah tanggung jawab seorang ayah hanya sebatas itu? Dimana asma Allah yang pertama dan kedua? Ar Rahman dan Ar Rahim? Apakah kasih sayang seorang ayah cukup ditunjukan dengan cara bekerja dan menyekolahkan anaknya? Adakah quality time bersama anaknya?
Bagaimana mengatur orang lain jika anaknya sendiri saja belum bisa ia atur? Peduli pada pendidikan anak lain tapi apakah peduli pada pendidikan anaknya sendiri?
Ketika sang anak lebih memilih tidur bersama kakek neneknya, ketika sang anak lebih memilih diantar sekolah oleh kakeknya, ketika sang anak lebih memilih jalan-jalan bersama kakek neneknya naik motor..
Antara optimis dan realistis. Anaknya memiliki keunikan yang berbeda, sanggup tidak sanggup kami menanganinya, kami bukan orang yang profesional yang mengerti benar bagaimana cara menghadapinya, tapi kami coba, kami berusaha, mencoba untuk adil pula pada 29 anak lainnya. Dia anak yang unik tidak bisa mengajarkan padanya dengan cara yang umum dengan segala aturan pendidikan yang berjalan saat ini. Hubungan antara orang tua dan guru yang harusnya bersama-sama bekerja sama tidak terjalin dengan baik, justru yang aada hubungan antara wali dan guru, padahal orang tuanya masih 'ada'..
Kemarin dan hari ini saya mengobrol dengannya?
"Siapa yang mengantar ke sekolah?"
"Ummi, karena eyang belum datang"
"Suka diantar ummi?"
"Tidak, suka diantar eyang?"
"Mengapa?"
"Karean saya sayang eyang"
Sempat saya juga bertanya lebih sayang pada ummi abi atau eyang.. Coba tebak jawabannya? eyang..
Ibunya tahu tidak ya? Ataukah sang anak paham siapa ibunya, siapa ayah, dan siapa kakek neneknya? Apakah sang anak tahu dari siapakah kasih sayang penuh yang seharusnya dia dapatkan?
Ketidak tuntasan pada masa perkembangan anak, akan selalu menjadi PR bagi si anak tersebut kedepannya. Mungkin tidak langsung dirasakan saat ini, tapi nanti, bisa jadi saat dia sudah tidak kanak-kanak lagi.. Pahami betul pentingnya peran orang tua pada masa perkembangan anak.
Kejadian-kejadian seperti ini bukan sekali dua kali terjadi di sekitar kita. Mungkin anak tidak diasuh oleh kakek neneknya, tapi oleh asisten rumah tangganya. Bagi sang anak asisten rumah tangga lebih sayang padanya.. Seorang anak yang datang ke sekolah di hari senin dengan bad mood karena bukan ibunya yang memandikannya, seorang anak yang datang terlambat ke sekolah hampir 1 jam padahal ibunya calon anggota legislatif, dan hal lainnya.
Jangan samakan anak dengan orang dewasa, karena anak-anak bukan pula miniatur orang dewasa. Pikirannya masih sangat sederhana, mendefinisikan kata "kasih sayang" bukanlah dengan yang memberikan padanya banyak mainan, tapi yang selalu ada bersamanya untuk bermain. Permainan-permainan yang sederhana, bukan dengan barang mahal yang jika mereka merusaknya malah kena omelan dari orang tuanya.
Idealisme saya dan ini adalah jalan pikiran saya..
Jika telah berkeluarga dan memiliki anak, saya harap saya bisa selalu ada bersamanya.. Menemaninya..
Saya harap saya tidak harus bekerja di luar rumah sehingga saya harus meninggalkan anak-anak saya..
Saat ini memang saya mendidik anak-anak orang lain, ini memang menjadi cita-cita saya, tapi harapan terbesar saya adalah saya bisa mendidik sendiri anak-anak saya, insyaAllah.
Cari suami yang sepaham.. hehe.. :D
dan saya berharap lebih baik saya tidak mengerti alasan mengapa seorang ibu memilih untuk tidak mengasuh anaknya sendiri..
Based on true story
Bandung, 19 Februari 2014