Minggu, 02 Oktober 2011

B I A S

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Beberapa hal dalam hidup ini, sudah kita ketahui, bahkan sudah kita mengerti..
Tapi terkadang kita butuh seseorang untuk menegaskannya..
Maka dari itu, tulisan ini saya buat untuk siapapun yang butuh penegasan dari orang lain, semoga bisa bermanfaat..

Kita tidak bisa memaksa seseorang untuk mencintai kita, sama halnya seperti kita tidak bisa memaksa seseorang untuk tidak lagi mencintai kita. Adalah hak seseorang untuk bebas mencintai siapapun.. Semoga Allah menganugerahi kita cinta yang indah yang dapat membawa kita untuk lebih mencintai-Nya, membawa kita untuk lebih dekat pada-Nya..

Belum lama ini salah satu teman saya di Facebook menulis status,
"kita bisa menutup mata untuk sesuatu yang tidak ingin kita lihat, tapi kita tidak bisa menutup hati untuk sesuatu yang tidak ingin kita rasa"
untuk sesuatu yang tidak ingin kita lihat oleh mata, mudah bagi kita untuk menutup mata atau memalingkan muka..
tapi untuk seseuatu yang tidak ingin kita rasa oleh hati, bagaimana cara kita untuk menutup hati?

Orang yang kita cintai saat ini, belum tentu akan menjadi seseorang yang akan ada di samping kita nantinya..
Orang yang kita cintai saat ini, belum tentu akan menjadi seseorang yang akan menua bersama kita..
1 hal yang harus kita percaya, adalah siapapun orang yang akan berada disamping kita nantinya, yang akan menua bersama kita, ia adalah orang terbaik yang memang telah Allah siapkan untuk kita. Semoga Allah segera membukakan pintu-pintu jodoh kita, didekatkan dengan jodoh kita, dan menunjukan kita jodoh yang terbaik..
Yang perlu kita lakukan saat ini adalah ikhtiar, seperti kata-kata Pak Mario Teguh yang paling saya ingat, "menjadi diri sepantas-pantasnya untuk belahan jiwa sebaik-baiknya".

Cinta itu butuh komunikasi, jika tidak ada komunikasi maka mungkin tidak ada cinta. Bagaimana mungkin kita dapat mencintai Allah jika kita tidak pernah berkomunikasi dengan-Nya? Bagaimana mungkin cinta dapat terjalin dengan tidak adanya komunikasi?
Komunikasi tidak melulu harus diungkapkan dengan bahasa lisan..
Nah, mungkin jika kita saat ini tengah mencintai seseorang, jika sudah siap buruan nikah, jika masih belum, coba agak kurangi sedikit komunikasi.. Memang gatel banget pengen sms nanya kabar, pengen telefon denger suara, pengen comment2an di jejaring sosial, pengen ketemu, dsb.. Tapi coba pikirkan ulang,, jaga benar-benar hati kita untuk orang yang memang akan menjadi halal bagi kita, apa yang kita perjuangkan saat ini, jika itu memang jalan yang Allah atur, insya Allah akan indah pada waktunya..^^

Adik kelas saya di kampus (yang baik hati tidak sombong dan gemar menabung, pasti dia baca tulisan ini... *muji-muji pasti ada maunya.. ahahahaaa... nebeng pulang yakkk... ;p), ketika saya bercerita sedikit tentang apa yang saya rasa, mereferensikan sebuah buku, "pelangi nurani" penulisnya Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia, di dalamnya ada tulisan dengan judul "bias"..
Baru minggu kemarin saya membacanya. Mohon izin Bu Helvy dan Bu Asma untuk sharing tulisannya, susah banget cari bukunya, karena mungkin sudah lama tidak dicetak lagi ya..

berdasarkan cerita salah seorang sahabat Bu Asma..

Namanya Arief. Saya mulai mengenal dan kian terbiasa dengan sosoknya, di hari-hari pertama kuliah kami. Tidak ada satu momen pun dalam kuliah kami, kecuali senantiasa menyuburkan perasaan kagum dan bangga di hati saya, terhadap lelaki itu.
Saya sangat bersyukur Allah memberi kesempatan kepada saya untuk mengenalnya, untuk belajar tentang berbagai hikmah kehidupan, dan menumbuhkan kedewasaan saya dalam berislam, dan dalam beraktivitas.
Rasanya belum pernah saya menemukan seorang teman sebelumnya, yang memiliki begitu banyak hikmah, yang keberadaannya selalu membuat saya merasa begitu 'kecil' dan bodoh. Hingga saya terpacu untuk belajar... dan belajar, sampai saya mengenal Arief.
Terus terang, saya terpesona atas kehadirannya. Terlebih, selama persahabatan kami, belum pernah saya menemukan satu hal yang buruk, tidak dalam kata, tidak dalam akhlak. Lucu rasanya bisa merasa dekat dan begitu bersahabat, dengan seseorang yang selalu menjaga jarak. Tapi itulah yang terjadi.
Saya kira, ada masanya saya sempat merasa yakin, bahwa kalau boleh meminta kepada Allah... saya yakin... lelaki itulah yang terbaik buat saya, buat perkembangan keislaman saya!

Waktu berlalu, saya terpisah denga Arief. Meski begitu, saya kadung merasa ada sebagain.. ya.. sebagian dari diri saya, yang terlanjur terisi dengan Arief. Hingga saya selalu nyaris membandingkan teman-teman lelaki saya yang lain dengan Arief. dan selalu, Arief kelihatan jauh lebih baik dibandingkan mereka. Setidaknya menurut penilaian saya.
Empat tahun setelah itu, saya menikah. Bukan dengan Arief. Namun dengan seorang yang lain. Saya menerima pernikahan itu bukan karena saya lelah menunggu Arief. Untuk urusan yang satu ini, terlepas warna perasaan saya, saya sudah berkomitmen sejak dulu, untuk tidak menolak kehadiran lelaki manapun yang agamanya baik. Dan, Mas Khalid, sungguh sangat baik. Tahun-tahun pernikahan kami berlalu, dan saya tahu, saya mencintai Mas Khalid. Meski terkadang, hati saya sering juga membandingkan Mas Khalid dengan Arief. Bukan soal fisik, tetapi lebih kepada sikap, dan cara pandang dalam menghadapi suatu masalah.
Mas Khalid sendiri benar-benar figur suami teladan. Dia sangat memperhatikan perasaan saya, dan selalu membuat saya bahagia. Dia amat sangat romantis, dan penuh kejutan! Selain itu, Mas Khalid juga tidak sungkan berperan dalam tugas-tugas rumah tangga.
Sebagai ayah dari kedua putra kami, Mas Khalid hadir nyaris tanpa cela. Dia sangat kebapakan, dan tahu bagaimana bermian dengan mereka, dan membuat anak-anak senang.
tapi hal lain yang membuat saya semakin mengagumi figur Mas Khalid, adalah cita-citanya yang besar, dan keinginannya untuk selalu berbuat nyata bagi kebaikan dakwah dan umat. Dia tidak hanya pintar bicara, tapi juga mampu mengaktualisasikan pikiran-pikirannya dalam bentuk yang terbaik. Saya sering merasa tidak cukup berarti bila dibandingkan dengan Mas Khalid!

Tahun kelima pernikahan kami, sungguh tidak disangka... saya bertemu Arief! Saya tidak bisa memungkiri, untuk beberapa saat, satu ruang di hati saya, yang terisi dengan dia, dan selama ini saya kunci rapat-rapat... terbuka kembali. Pertama bertemu dengannya, saya hampir yakin, Arief tidak berubah. Dia kelihatan lebih dewasa, dan good looking seperti biasa, serta... belum menikah!. Dia masih Arief yang lembut, dan penuh perhatian. Masih Arief yang sama, yang selalu menumbuhkan banyak kekaguman di hati saya.
Tapi setelah beberapa lama kembali mengenalnya, saya tahu... lelaki itu ternyatatelah banyak berubah. Arief yang sekarang kelihatan lebih berani dalam pergaulan. Ini saya ketahui dari komentar beberapa teman yang kebetulan satu kantor dengannya.
Dari beberapa obrolan dengannya... saya pun tahu... Arief yang sekarang tampak begitu 'sederhana' dalam cita-cita dan tujuan hidup. Arief yang saya kenal dulu, rasanya tidak mungkin menjawab hanya dengan 'ingin menikah dan punya anak, serta hidup mapan' sebagai ambisi yang ingin dicapai. Arief yang biasa menyemangati saya, punya kepedulian yang besar terhadap berbagai permasalahan umat. Tidak, Arief yang saya kenal, harus punya cita-cita jauh lebih besar dari itu!
Saya kecewa. saya tahu, kehidupan Arief sekarang, mungkin bukan sesuatu yang salah. Hanya, kapsitasnya dulu membuat saya berharap jauh lebih banyak terhadap lelaki itu.
Tiba-tiba saja mata saya terbuka. Betapa Allah lebih tahu segala! Saya sendiri bukan tidak banyak berubah. Tapi untuk saat ini saya tahu... saya butuh pendamping yang mampu menghidupkan dan mendorong saya mewujudkan mimpi-mimpi saya (baca: cita-cita!). Saya butuh seorang suami yang punya keberanian dan ambisi yang kuat dalam menata kehidupan umat. Saya butuh... Mas Khalid!
Air mata saya jatuh, saat menatap Mas Khalid yang masih sibuk dengan komputernya, menata beberapa konsep kegiatan keislaman. Sudah pukul tiga dini hari, dan Mas Khalid masih asyik mengetik. Terngiang beberapa ucapannya ketika kami baru menikah:
"Menikah itu bukan untuk punya anak!" suaranya tegas.
"Lalu?" tanya saya heran. Mendadak saya merasa tidak punya konsep tentang pernikahan dan keluarga.
"Tujuan menikah intinya bukan cuma itu. Tapi untuk saling membahagiakan. Dan itu... itu proses seumur hidup!"
Subhanallah!
Saya tak henti-hentinya bertasbis kepada Allah. Ketika kemudian sesaat Mas Khalid berpaling dan menatap saya penuh kasih, saya menghampiri lelaki itu, dan mencium ke dua pipinya. Mata saya masih basah.
Saat itu saya yakin : Saya semakin mencintainya!

Waaaah,,, spechless..
Takdir yang Allah tetapkan untuk kita, tak mesti kita ketahui maksudnya saat ini, besok, lusa, minggu depan, bulan depan, atau pun tahun depan, kadang butuh waktu bertahun-tahun... dan ketika Allah tunjukan maksud-Nya pada kita, semoga menambah kecintaan dan keyakinan kita pada-Nya..
Allah Maha Mengetahui yang terbaik untuk hamba-Nya..


Ya Allah jauhkan kami dari keraguan dalam menentukan pilihan,
semoga kita selalu berada dalam kasih sayang-Nya
Bandung, 2 Oktober 2011
Nafsa Karima

2 komentar:

  1. hahahaa... maksih ya arum tuk semua-semuanyaaaa.. :))
    bukunya insya Allah senin cha bawa.. :)

    BalasHapus