bismillahirrahmanirrahim
Dia terdiam. Meski sudah sering melihatnya menangis, tapi kali ini terasa begitu menyakitkan. Air matanya mengalir di kedua pipinya, ia coba tersenyum. Aku tak menyangka apa yang baru ku katakan reaksinya begini. Sedih melihatnya seperti ini. Ia tersenyum meski ia menangis.
Saudariku sayang, jika kau katakan 'tidak' lalu mengapa kali ini kau menangis? Kau mencintainya?
Di sudut lain,
Aku tidak tahu, aku bahkan tidak pernah tahu apa harapannya. Aku tidak tahu, aku tidak tahu apakah dia bahagia. Aku tidak tahu, apa yang membuatnya sedih. Aku tidak tahu apa-apa tentangnya. Hal ini sangat menyakitkan sekali. Ketika kau mencintai seseorang, kau merasa bahagia di dekatnya, bahagia karena ia hadir dalam hidupmu, terimakasih Allah. Tapi, kau tak penah tahu apa-apa tentangnya, apakah ia merasakan hal yang sama denganmu? Bukan cinta yang ku maksud, tapi sebentuk kebahagiaan.
"Kau mencintainya?" bukan pertanyaan ini yang ingin ku dengar. Aku tak bisa menjawabnya. "Kau mencintainya." pernyataan ini yang mungkin ku butuhkan, aneh sekali, sesuatu yang hanya kau yang merasakannya, tapi butuh orang lain yang menegaskannya.
Ia tersenyum sambil menengadahkan wajahnya ke langit. Malam ini seakan seluruh semesta turut berduka akan kesedihannya. Ia hapus air matanya, menatapku, lalu ia tersenyum, "aku akan menjadi sahabat yang baik untuknya, meski mungkin aku tak akan pernah berada di dekatnya. Aku akan menjadi sahabatnya, seperti aku menjadi sahabatmu."
Aku hanya mampu tersenyum mendengar kata-katanya dan berkata dalam hati, "Ya Allah Yang Maha Kuasa, takdir apa yang Engkau tetapkan atas mereka? semoga takdir mereka bertemu.."
Ya Allah, aneh sekali rasanya. Aku tak benar-benar mengenalnya, tak benar-benar memahaminya. Saudariku, mungkin benar adanya kata-kata 'mencintai itu tak berarti harus memiliki' karena tak ada yang benar-benar kita miliki, semuanya 'titipan'. Rabb ku, izin aku untuk dapat selalu berbagi sebuah senyuman.
Dia terdiam. Meski sudah sering melihatnya menangis, tapi kali ini terasa begitu menyakitkan. Air matanya mengalir di kedua pipinya, ia coba tersenyum. Aku tak menyangka apa yang baru ku katakan reaksinya begini. Sedih melihatnya seperti ini. Ia tersenyum meski ia menangis.
Saudariku sayang, jika kau katakan 'tidak' lalu mengapa kali ini kau menangis? Kau mencintainya?
Di sudut lain,
Aku tidak tahu, aku bahkan tidak pernah tahu apa harapannya. Aku tidak tahu, aku tidak tahu apakah dia bahagia. Aku tidak tahu, apa yang membuatnya sedih. Aku tidak tahu apa-apa tentangnya. Hal ini sangat menyakitkan sekali. Ketika kau mencintai seseorang, kau merasa bahagia di dekatnya, bahagia karena ia hadir dalam hidupmu, terimakasih Allah. Tapi, kau tak penah tahu apa-apa tentangnya, apakah ia merasakan hal yang sama denganmu? Bukan cinta yang ku maksud, tapi sebentuk kebahagiaan.
"Kau mencintainya?" bukan pertanyaan ini yang ingin ku dengar. Aku tak bisa menjawabnya. "Kau mencintainya." pernyataan ini yang mungkin ku butuhkan, aneh sekali, sesuatu yang hanya kau yang merasakannya, tapi butuh orang lain yang menegaskannya.
Ia tersenyum sambil menengadahkan wajahnya ke langit. Malam ini seakan seluruh semesta turut berduka akan kesedihannya. Ia hapus air matanya, menatapku, lalu ia tersenyum, "aku akan menjadi sahabat yang baik untuknya, meski mungkin aku tak akan pernah berada di dekatnya. Aku akan menjadi sahabatnya, seperti aku menjadi sahabatmu."
Aku hanya mampu tersenyum mendengar kata-katanya dan berkata dalam hati, "Ya Allah Yang Maha Kuasa, takdir apa yang Engkau tetapkan atas mereka? semoga takdir mereka bertemu.."
Ya Allah, aneh sekali rasanya. Aku tak benar-benar mengenalnya, tak benar-benar memahaminya. Saudariku, mungkin benar adanya kata-kata 'mencintai itu tak berarti harus memiliki' karena tak ada yang benar-benar kita miliki, semuanya 'titipan'. Rabb ku, izin aku untuk dapat selalu berbagi sebuah senyuman.
hanya menulis
Bandung, hari terakhir bulan Januari 2012
Nafsa Karima
Bandung, hari terakhir bulan Januari 2012
Nafsa Karima
Tidak ada komentar:
Posting Komentar